Rabu, 04 November 2015

tanah kelahiran



Menurut legenda suku Dayak yang berasal dari Panaturan Tetek Tatum yang ditulis oleh Tjilik Riwut mengisahkan orang pertama yang menempati bumi atau menginjakan kakinya di Kalimantan adalah Raja Bunu.[4] Pada abad ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) yang berpusat di Can

klik disini!
Pada abad ke-16, Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah mandala Kesultanan Banjar, penerus Negara Daha yang telah memindahkan ibukota ke hilir sungai Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan wilayah mandalanya yang semakin meluas meliputi daerah-daerah dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Pada abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar, bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai bernama Panglima Sorang yang diberi gelar Nanang Sarang membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok. Selain itu orang Biaju (sebutan Dayak pada zaman dulu) juga pernah membantu Pangeran Dipati Anom (ke-2) untuk merebut tahta dari Sultan Ri'ayatullah. Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting.[5] Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637.[7] Menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah Mendawai, Kyai Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala daerah Pembuang dan kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar Ratu Kota Ringin[8]

Berdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sultan Batu dari Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura, Hulu Sungai sampai Distrik Pattai, Distrik Sihoeng dan Mengkatip menjadi daerah protektorat VOC, Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Tengah beserta daerah-daerah lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Secara de facto wilayah pedalaman Kalimantan Tengah tunduk kepada Hindia Belanda semenjak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894. Selanjutnya kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah Hindia Belanda.[9] Sekitar tahun 1850, daerah Tanah Dusun (Barito Raya) terbagi dalam beberapa daerah pemerintahan yaitu: Kiaij Martipatie, Moeroeng Sikamat, Dermawijaija, Kiaij Dermapatie, Ihanjah dan Mankatip.[10][11]

Sejak tahun 1845, Hindia Belanda membuat susunan pemerintahan untuk daerah zuid-ooster-afdeeling van Borneo [meliputi daerah sungai Kahayan, sungai Kapuas Murung, sungai Barito, sungai Negara serta Tanah Laut] selain Residen terdapat juga Rijksbestierder alias Kepala Pemerintahan Pangeran Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana. Di dalam hierarki pemerintahan tersebut terdapat nama kepala suku Dayak seperti Tumenggung Surapati dan Toemenggoeng Nicodemus Djaija Negara.[12]

Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, daerah-daerah di wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling menurut Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8.[13] Daerah-daerah di Kalteng tergolang sebagai negara dependen dan distrik dalam Kesultanan Banjar.[14]

Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan.

Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas secara otonom menjalankan hukum adat Dayak-Kaharingan, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman. Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah.


Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Sekitar tahun 1835 misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di selatan Kalimantan. Pada 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba dan mulai menyebarkan agama Kristen di Banjarmasin. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris[15] Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit.[16]




.
di Agung dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang dengan kepala-kepala daerahnya masing-masing yang disebut Mantri Sakai (Kepala Distrik), sedangkan wilayah Kotawaringin pada masa itu merupakan kerajaan tersendiri.[5] Kerajaan Negara Dipa dilanjutkan oleh Kerajaan Negara Daha dengan raja pertamanya Miharaja Sari Babunangan Unro [miharaja= maharaja]. Raja tersebut telah mengantar salah seorang puteranya yang bernama Raden Sira Panji alias Uria Gadung [Uria= Aria] untuk memegang kekuasaan wilayah Tanah Dusun [atau Barito Raya] yang berkedudukan di JAAR – SANGGARWASI.[6]


klik disini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar